Facebook Google Plus RSS Feed Email
"Aku Hanyalah Debu Berselimut Nafsu!"
Blog ini adalah serangkaian kumpulan sadjak dan berbagai tulisan sastra, karya Helyn Avinanto (Helin Supentoel)

Sabtu, 31 Desember 2011

Catur

 
Coba renungkan saja permainan catur ini
bagaimana pion-pion mampu berjalan lurus sebagaimana mestinya
bila baru sejengkal langkah saja peluncur lawan menghadang
berkawan kudanya yang menggila
siap menerjang bila serasa mengancam tuan raja
menjadi benteng ataupun cecunguk setia

sementara si krocok-krocok meributkan ekornya lari kemana
saling sontok-menyontok di depan mata
hingga membuahkan darah kematian
sang tuan raja masih tetap saja memangku ketenangan
bersama ster berpesta anggur pada bidak singgasana
meski sudah melembung

pion-pion tak pernah tau
mau di bawa kemana arah bidak permainan ini
bila baru melangkahkan kakinya saja sudah terhentikan sengaja
mau bicara lekas di sumpal mulutnya oleh tegap bentengnya
dan bila serasa tuan raja terancam
dengan menggeserkan pantatnya saja semua sudah kembali aman
Begitu pula krocok-krocok lawan
mereka tak pernah mahu tahu apa yang di jalankannya
asal kantongnya tak melongo
dasinya masih berada di dada
dan duduk tetap di kursi sofa

seandainya saja sang tuan raja dan ster juga krocok-krocok
mahu mengerti duka pion-pion nya menjadi ujung tombak bidak ini
dan siap menjadi paling depan memerangi pergulatan yang terjadi
pastilah kemenangan indah akan tersuguhkan
dan kemakmuran bukanlah mimpi saja

namun tak tersangka ini hanyalah permainan belaka
juga hanya pemikiran saja
pantas bila bidak catur ini berwarna hitam dan putih
tak mampu berubah menjadi  hijau dan keemasan

sebenarnya siapa yang salah menyematkan langkah
dan memberi warna pada bidak catur ini
apakah pemain yang memainkan
atau pengisi bidak catur

tapi yang terketahui selama ini
pion-pion hanya menjadi ujung tombak permainan saja
dan termakan janji-janji belaka
bukan kepastian
meski orang bilang bidak ini loh jinawi

rasakanlah saja pergulatan tadi
ini belum lah selesai
baru setengah permainan saja
mari kita susun kembali kerangka yang baru
yang lebih jitu
biar bidak catur tak semakin hancur
dan warnanya kan berubah sebagaimana mestinya
entah siapa nanti yang menjadi juaranya


Ngawi, 31 Desember 2011
(kado renungan akhir tahun)
Read More..

Rabu, 28 Desember 2011

Panggung Sandiwara

 
oleh Helin Supentoel pada 27 Desember 2011 pukul 23:49

Aku tulis sadjakku dalam derai air mata
Di bawah beranda putih dan kamboja

Bersamanya ribuan gunung tertunduk dalam haru
Daun-daun seketika berhenti bergoyang
Dan udara terdiam dalam bisu
Begitu pula mentari siang itu
Seakan menitikkan air mata
Berjatuhan membasahi pipinya yang hampir keriput
Saat ia tertidur dalam keranda


Masih ku ingat jelas kala kau menggebu
Mencuri pandangku di sebilah senyummu
pula manjamu warnai segala makna




masih jelas pula ku rasakan beberapa aktingmu jalankan sandiwara
kau tampak benar mendalami peran cerita
dan ku bumbui dengan gerakan-gerakan kiasanku
ketika aku menukik
engkau membelit
bagai percintaan bambang cakil melebur dalam satu cerita


dengan siapa lagi kan ku mainkan serial operet ini
bila kau telah pensiun dini hari
mengukir nama pada batu dan wangi bunga
dalam tarian-tarian bianglala



bagaimana aku kan mampu menjawab indahnya cinta

bila engkau sudah tak mampu lagi berbicara sepatah kata
hanya senyum bibir pucatmu yang mampu ku sapa
tak lain


maafkan aku tak sempat memberimu sebuah canda
di saat detik-detik kau merasakan keburaman
tapi percayalah
aku tak kan henti memberi canda cerita baru untukmu
biar kau tak lagi kesepian
dan biarlah kan ku simpan sementara dahulu canda-canda untukmu

jangan pernah kau takut
akulah yang sebenarnya teramat iri padamu
engkau telah merdeka
sedangkan aku masih menimbun dosa di sini
kelak, bila kita kan berjumpa lagi
mari kita mengenang kembali masa indahnya waktu bersama
dan memainkan ribuan nada yang pernah kita rangkai


tunggulah saja aku
aku kan menjemputmu di taman itu

tak usah kau meragukan akan kita yang pernah berdua
semua tak kan lenyap seketika angin merebutmu dariku
kelak
aku kan merebutmu kembali
dan tak kan pernah ada yang mampu membungkusmu lagi
biarlah saat ini cukup aku saja yang tahu merasa
kepergianmu memberi duka terpanjang di lipat dadaku
dan
semuanya
 dalam ribuan mata yang pernah mengenalmu berpijar layaknya lembayung senja



Ngawi 27 Desember 2011
(puisi buat Fitria yang telah kembali ke surga)
Read More..

Jumat, 23 Desember 2011

Merpati

oleh Helin Supentoel pada 23 Desember 2011 pukul 4:01
oh.. merpati
jangan kau menggodaku
perut buncitku sudah tak tahan lagi merasakan lapar
ingin lekas melumatmu mentah-mentah
begitu pula gigi taringku yang mulai berkerak, saat ku tanya
siap menghisap lezat harum darahmu
mencabik-cabik sekujur tubuhmu
dan seluruh tulang belulang segala isi yang kau punya
lidahku pun juga siap menari-nari
meresapi tiap inci ranum dagingmu
selepas ku tanggalkan satu demi satu bulu menjubahimu
seperti udara memunguti nafasku yang busuk

bila aku belum merasa kenyang
ku bungkus saja sekalian indah bulumu itu
hingga kau tak lagi ingat
siapa gerangan yang pernah mendekapmu dalam sangkar

namun,
bila kau berkenan enggan menggodaku lagi
kan kujadikan kau peliharaanku saja
biar setiap waktu ku selalu mendengar ocehan-ocehan merdumu
mencuri benih-benih padiku yang sudah menguning
atau pula kujadikan saja kau patung boneka
biar kau tak lagi mengepakkan sayap ke langit
memberi kemarau senja di musim semi padaku

dan saat ku menginginkan panggung opera
kau kan siap ku mainkan tuk apapun peran cerita
pastilah cukup aku saja yang menjadi sutradara
bukan mereka yang kian berdusta
dalam cumbuan kata

mereka hanyalah menginginkan selembar kehangatan senyum saja
bukan diriku



Ngawi, 23 Desember 2011
Read More..

Kamis, 22 Desember 2011

Kamboja

oleh Helin Supentoel pada 22 Desember 2011 pukul 1:41

Hanyut sudah semua dalam derai air mata
saat purnama kembali temaramkan hatinya yang luruh
Di bawah senyum putih kamboja
Rintik hujan seakan mengiringnya berpulang
langit tertunduk sendu
dan si gagak,
Riang dalam celoteh kebusukan
Sembari menertawakan di antara reranting kering
Mendekap kemeriahan rumah pertapaan
Bahwa seraut kawan telah datang menemaninya meniup malam

Derai air mata semakin menanggalkan cerita
Bibirnya sudah tak mampu melesatkan manis canda
Hanya jeritan dan beku gigi menggetar cinta kasih
Sementara si kecil yang baru saja menetek
Meresapi keheningan menjadi abu-abu
Lentik matanya masih sayu
Entah bagaimana kelak ibu menjawab bila di tanya
"Bu, aku ingin bertemu bapak
 aku ingin di peluknya
 sehangat engkau memelukku, Bu"

Bukankah lebih berat menjinjing gemuruh gunung yang mengencupkan sayang
dan menelan lautan bara hingga rumput-rumput meringkuk dalam rayu
Dari pada harus menjelaskan kedukaan yang telah terpendam sempurna
pada batu yang terdiam nama

Gelisah kian mengkaca Ibu
Saat fajar kembali membuka awal cerita


Ngawi, 22 Desember 2011
( semoga Ibu selalu tegar dalam cintanya)
Read More..

Sabtu, 17 Desember 2011

Dinda

oleh Helin Supentoel pada 17 Desember 2011 pukul 2:47
Dinda,
tahukah engkau perasaan ini
selalu saja mendegap kencang saat menatapmu
senyummu telah menawanku dalam bui indahnya
membawaku dalam gugusan-gugusan mimpi bahtera
hingga setiap kali ku buka mata
hanya raut parasmu saja menjadi kaca ku menatap

aku tak sadar
bagaimana udara membisikkan pesan
akan cinta kita yang teramat berbeda
yang mereka bilang tak sama
kita terpisah rentang jarak membenamkan
namun,
apakah cinta mampu mengatakan kita berbeda
mata sajalah yang membedakannya

Dinda,
bila nanti mentari kan terbit dari ufuk barat
kan ku culik saja kau di balik beranda rumahmu
biar mata yang membuat berbeda tak mampu berkata apa
dan mereka baru kan merasa
cinta kita tak mati di telan samudra
dalam tungku dan api bianglala


Ngawi, 17 Desember 2011
(aku yang kangen dengan kekasihku)
Read More..

Kamis, 15 Desember 2011

Mereka Tak Mengenalmu

 
oleh Helin Supentoel pada 15 Desember 2011 pukul 3:58

Pahamilah,
malam hampir saja tenggelam
mari sejenak kita sulam benih-benih kesematan
di beranda hitam ini
biar kau lekas pulang
memberi nasi dan susu pada enthikmu
yang semalaman menangisimu tak kunjung mendekapnya


Bila nanti sepulangmu kau mendengar sapa membekab telinga

bersabarlah
itu hanyalah celoteh usang belaka
mereka tak pernah benar mengenalmu
seberapa berat gunung kau panggul
dan tak hanya mereka saja yang mampu bicara indahnya cinta
kita pun juga mampu mengatakannya
dengan secuil kata yang mungkin kita masih coba raba
dalam sepi dan kebisuan

namun,
jikalau ada jejak tanya
jangan sesekali kau lantangkan pada mereka
akan ke iba-an ku padamu
cukup waktu saja menjadi saksi mata
tentang kita lebih bejat dari anjing penjaga
dan
terima saja kata mereka
bila selalu saja bilang

"dasar kau gimblok"



Ngawi,15 Desember 2011
Read More..

Aku Telah Menenun Kematian

 
oleh Helin Supentoel pada 15 Desember 2011 pukul 0:38

Tak ku kira,
Sejenak perhatianmu memberi halaman putih
membiarkanku leluasa menorehkan tinta pada sekujur polosnya
di antara hilir udara menjulang tinggi benih-benih keharuman
hingga lembar tumpukan kian tersusun
menggudang
ranah pencritaan syair yang aku dan kau coba rangkai

masih jelas ku ingat cerca-cerca senyummu di balik mega
taburan bunga jambu nian memberi riasan remang cahaya
merambah di ujung dedaunan
sembari kau memainkan lentik jemarimu pada tatanan bata

kau lukis gusaran rindu yang membuatmu gelisah
kepadaku
dan
dalam bulir-bulir hujan menimbun cerita


di batas kota kita pernah mengucap sesirat jumanji
pada surya yang hampir terbenam
kau raih telapak jemariku dengan lembut
lalu aku mendekapmu erat
biar kau tak kesepian menyambut malam
sembari membiarkan burung, dedaunan, juga hujam sapa cemburu pada kita
meringis di seraut senyumnya
tuk kita yang kerap menyulam makna perjumpaan
senantiasa menjaga dinding rasa
meski gelombang menghempaskannya ke tepian karang
terjengkal dalam rentang cahaya

jelas dinding senja mendengarnya dalam remang
bilahan-bilahan kata seakan mengiringi laju dawai angin sunyi
dalam tinggi bait-bait mimpi yang kau dan aku sematkan
kita dua sayap yang ingin menegur kaca dengan sebilah tinta saja

semua masih jelas terasa di antara kesematan
namun,
tarian-tarian hujan mengawali lekang sepenggal raut katamu
memberi keburaman cahaya
saat kau melangkahkan kakimu dalam letas udara
dan membuatku harus jengah pada bulir pasir
bahwa kau telah memberi cerita pada samudra
lenyap dalam kasat mata dan raga cintaku

setelah sekian lama
mengapa kau coba membuka kembali lembar kusam yang telah usang
dalam senyum rayu
sadarkah kau,
aku telah menenun kematian
semenjak dahulu kau berpesan padaku
dalam serat pengkabaran

"Mas.., Kau Bajingan"



Ngawi, 13 Desember 2011photo id="1" />
Read More..

Minggu, 11 Desember 2011

Putih

 
oleh Helin Supentoel pada 11 Desember 2011 pukul 6:03
Putih,
engkau telah membenamkan rinai kenari pagi
yang memberi pesan kepadaku dalam rentetan sapa
saat ku termangu benarkan letak kemeja
di balik tirai jendela

cahya mentari tak seindah cahyamu
kau mempesona
bidadari terhias mutiara
saat musim semi hampir saja tiba

Putih,
lentik tubuhmu memberi sebilah kaca
menimang bulatan-bulatan mata
hembus udara pun enggan beranjak pergi
serasa mati raga
kala harum parfummu membelah muara
apalagi ranum parasmu
susunan teramat sempurna

alamak...
haruskah aku tergoda di balik kerudungmu
mungkinkah selezat bibirmu
seindah baris gigimu
ah
aku cukup tau diri
aku aki dan kau bayi

engkau memang gadis teristimewa bergaun kenanga
semoga saja esok pagi engkau kan kembali
mengerlingkan senyummu di antara embun pagi
kala ku buka tirai jendela ini
meski aku masih berbau terasi



Ngawi, 11 Desember 2011
Read More..

Galau Di Beranda Rumah Tua


oleh Helin Supentoel pada 11 Desember 2011 pukul 3:37

sebentar ku lihat galau memanjang di beranda rumah tua
tertegun pada cahaya malam yang semakin sepi
di depannya secangkir kopi sudah terlahap barisan semut dan dingin
sebungkus kretek tinggal separo pun memandang bisu
bukan ia menyesali kambingnya tak makan tadi siang
atau anak itik hilang dari kandang

tetes-tetes hujan menari di ujung dedaunan
mencoba kerlingkan senyum pada seraut muka yang lusuh
muka yang ku jumpai akhir musim semi tahun lalu
selepas kotaku menahan rindu
di baris jalan jeruti sepeda abu-abu

enggan bibirku bertanya seutas sapa
serasa tersulam benang tanpa tutus simpul kuncian
akan temaram yang membuatnya berbeda
dalam desah perjumpaan kata
mengawali nada

ingin ku melihat sebilah senyum yang dulu pernah menertawakanku
juga celoteh riang sirnakan lelahku
sembari sesekali menepuk bahu
saat remang berdua mengupas sendi-sendi di baris tangga
pula membisikkan sapa pada mawar simpang lima



mungkin ia sedang memunguti bulir-bulir cinta di antara samudra
atau pula mengejar tai-tai pada kakus belakang
aku tak cukup maknai semuanya
yang ku tau hanyalah ia meresapi pengasingan malam
selepas Jogja hujan air mata

satu pesan coba ku lesatkan

"jangan engkau memendam semuanya
 lepaskan saja pada angin dan udara yang menciummu
 pula kepadaku
 bukankah langit sudah kembali tenang
 biarlah pigora saja hiasan meja tamu rumahmu"




Ngawi, 11 Desember 2011
(kedukaan selepas merapi)
Read More..

Selasa, 06 Desember 2011

Bola Mata

 
 
oleh Helin Supentoel pada 6 Desember 2011 jam 4:57
kesunyian malam menghantarkan sebilah kisah
antara aku, engkau, mereka
dan binatang-binantang
juga kehidupan
semua sama
hanya peristiwa membedakan

Apa ini salah
atau hanya kecerobohan
aku tak tahu pasti
tak lama semenjak termulai sebuah pertikaian
dan ronta-ronta desah menjadi nada kesematan
lentik matamu berkedip kepadaku
mengisyaratkan sebuah pesan bisu
aku pun semakin buas
beringas
menggegaskan
ku maknai isyaratmu itu seperti yang lalu-lalu
kau belum cukup lega mendesahkannya

lentik matamu kembali mengedipkan pesan bisu
baru ku mulai mengerti
sekertika ku melambat
pelan
dan
berhenti
pada bola mata melongo dalam tanya
pandangi pertikaian aktor dan aktris di depan mata
namun ia bukanlah sutradara
atau penikmat tawa
ia benih kasih yang telah termakan usia

lantas tersemaikan
peredaman sebuah sapa
"nak, jangan ganggu Ibu dan Bapakmu ya,
 lekaslah kembali tidur,
 lanjutkan saja mimpi indahmu
 lupakan semua apa yang kamu lihat ini, nak
 biarlah bapakmu meminjam sebentar tetehanmu"

"Iya, nak
 bukan Bapak ingin membuat Ibumu terluka
 bukan pula membuatnya menjerit dan mendesah
 namun beginilah adanya
 saat ku dan Ibumu merangkaimu dulu
 kelak kau akan tahu sendiri bila sudah saatnya
 dengan kekasihmu

"lekaslah pejamkan matamu
 biar Bapak membuat mainan baru untukmu


Ngawi, 06 Desember 2011
(Maafkan bila kenakan ini terjadi)
Read More..

Minggu, 04 Desember 2011

Surat Cinta

 
oleh Helin Supentoel pada 4 Desember 2011 jam 7:20
 

Duhai engkau di sana
sadarlah,
aku di sini termangu rindu

aku mencintaimu sepanjang jalan penuhi tanah lapang
aku mencintaimu sekering lautan tak berair
aku mencintaimu sehangat mentari yang tak lelah sinari bumi
aku mencintai meski aku terbakar bara cemburu
mari kita berkisah lagi
semoga malam menjadi saksi percintaan kita di balut udara
membuka benih-benih kasih yang sekian lama hambar
kau dan aku yang terpisah ribuan mata
antara samudra dan lautan
gelombang dan karang
semuanya menjadi saksi semenjak perpisahan kita
saat engkau sematkan kaki ke tanah rantau
dan aku di sini menimang buah cinta kita sendiri

Duhai engkau di sana
kembalilah,
saatnya kau dan aku merasakan kehangatan malam
untuk malam yang pernah kita lenyapkan di balik suara
biar esok pagi nanti menjadi berbeda
tak seperti saat kau di sana dan aku di sini
kita bercerita dengan mungil yang kelak kau kandung lagi

lekaslah engkau kembali,
beri salam untukku dan malam

surat cinta yang engkau kirim kepadaku saat itu
telah usai ku baca dengan mata cinta
hingga aku menitihkan air mata
namun,
telah ku maknai segalanya
kita berpisah bukan untuk terpisah
kita hanya terjengkal pada keadaan yang melayakkan

percayalah,
cintaku tak kan henti di ujung mata
meski engkau pulang menimang buah cinta negeri sana

Aku harap engkau lekas kembali
Bersama pesan surat cinta ini


Ngawi, 04 Desember 2011
Read More..

Celoteh Pagi

"Bagaimana kabar pagi ini"
Itu kata orang sukses naik kuda tunggangannya kepada penjual koran yang sedang membilah dagangannya di perempatan lama kota Ngawi. Mungkin saja ini pelanggan pertama setelah pagi mengguyur kota dengan sapa rintik hujan.

"kabar masih tetap seperti biasa, perebutan hak milik menjadi terfavorit di bicarakan"
Jawab si penjual koran sambil menyuguhkan dagangan di kaca pintu kiri yang sedikit terbuka atasnya. Sedangkan orang sukses merogoh gocek di saku jas hitamnya.

"ah, setiap hari kok tetep sama, apa masih kurang kenyang makan to? kok milik orang lain masih saja di perebutkan..., hadeh....?" Tergeleng-geleng kepala orang sukses tersebut sambil memberikan uang Rp. 50.000,00 kepada penjual koran. Lantas penjual koran tersebut bertanya kembali,
"maaf, apakah tidak ada receh Rp.3000,00 saja, koran saya masih belum laku..., baru Bapak yang pertama membelinya, jadi saya belum punya kembalian yang begitu besar". Muka melas di tampakkan oleh si penjual koran tersebut, entah kenapa, ataukah menginginkan kerelaan uang dari orang sukses ataukah benar sama sekali tidak mempunyai kembalian.

"itu uang saya yang paling kecil. Sudahlah kalau begitu kamu ambil saja kembaliannya, uang segitu bagi saya tidak ada apa-apanya." Jawab si sukses sambil membenarkan dasi merah jambu kesayangannya.
"Benarkah.., apa benar...?"
Kecengangan melanda perasaan si penjual koran dari nada canggungnya. Entah itu perasaan suka atau heran.
"benar sekali to? kamu kira saya ini sapa..., sudah?"

Gas kudanya langsung di tancap oleh si sukses, melesat kencang, dan kemudian nyala lampu belakang mobil menyala, pertanda mobil berhenti. Terdapat bapak Polisi berpakaian lengkap menghadap pintu kanan mobil si sukses. Tak lama kemudian, si sukses kembali menghampiri si penjual koran. Sementara si penjual koran lagi keasikan memegang uang Rp. 50.000,00 tersebut.
"heh, si penjual koran..., saya minta uang kembalian saya atas pembelian koran tadi?"
Dengan bangga dan tak malu si sukses meminta kembali. Lantas si penjual koran tercengang, tapi kerakusan tak menyertai si penjual koran. Uang kembaliannya pun di kembalikan
"ini pak, uang kembaliannya, terima kasih." Jawab si penjual koran, sambil memberikan Rp. 47.000,00 kepada si sukses, dengan murah hati, dan senyum.

Ternyata si sukses terkena tilang dari pak Polisi, di karenakan melanggar marka jalan. Lain dari pada itu, sebenarnya mobil tersebut adalah mobil pinjaman. Lebih parahnya lagi, ternyata si sukses bukanlah orang sukses, tetapi adalah penipu sukses.

Hadeh...., aneh-aneh saja cerita hidup ini. Apa tidak pamali meminta kembali dari apa yang telah di berikan. Semoga kita tidak begitu....


Ngawi, 04 desember 2011.
Read More..

Resah Gelisah



Sehangat senja membenamkan sebilah tawa
Dinding-dinding semakin sunyi terbenam di ujung muara
Jua burung-burung meringkuk pada jejak kaki kecilnya
Saat kaki-kaki hujan menari di udara
Lesatkan malam perjumpaan yang sekian lama ternanti
Kau duduk tersipu bertopang dagu
Pandangi kaki-kaki hujan menari di lembar dedaunan
Yang akhirnya terjatuh lenyapkan jejak perjalanan usang

Kaki-kaki hujan pun lekas mereda menenun musim
Tinggal engkau saja yang enggan beranjak pergi
Memungut resah gelisah di balik dekaban awan
Bukankah telah ku siratkan semenjak lelah menapaki malam
Lantas mengapa bayang masih bertimang nada
Apakah gundah menghangatkan hatimu
Petik saja satu kaki hujan yang tertinggal
Biar kau tenang dalam kecewa
Dan buat saja malam ini cemburu padamu dan bulir hujan
Hingga fajar menitih bulir embun deraikan malam pada kebeningan

Tenanglah,
Kan ku sampaikan gundah kalbumu pada fajar nanti
Biar bibirmu tenang menari lagi di baris gigi
Juga wajah ayumu tak lagi kecut bagai kentut
Nanti kau kan tau
Seberapa hangat mentari meninggalkan senyum sapanya
Saat kau pun semakin menari bawakan opera beranda cinta
Sementara,
Biarkan saja aku menjadi  bangku kosong di balik mega



Ngawi, 04 Desember 2011
Read More..

Jumat, 02 Desember 2011

Rumah Tua

 


Seraut muka yang kau titipkan padaku
bingkai tapak yang kau tapaki
aku cukup mengerti semua canda itu
yang mungkin ku anggap sinting saja
namun dalam dekapan matamu
aku terlanjur mengerti semua
luka lukisan yang kerap kau pajang di dinding rumahmu

kau yang tlah lama setia menanti hujan kala kemarau
entah kapan tibanya
dalam sirat melodi rindumu
meski kau bicarakan malam petang
aku sudah cukup tau malammu hanya untuknya
yang kau sebut bukan cemburu
atau kau hanya inginkan setangkai makna dalam keranjang tua

Lekas raih langit
bungkus saja rembulan
biar terang malam ini hanya untukmu saja

tak usah kau usingkan mereka
biarkan mereka merasa kegelapan dibumi ini
mereka hanya menikmati nadinya sendiri
bukan nadimu
atau pula waktu

biarlah psikopat mengombar mulut busuknya
ini hanyalah sekedar isak tangis saja
meniti tai-tai yang baunya sudah tiada
hinggap diberanda rumah tua
Ngawi, 9 oktober 2011
Read More..