Facebook Google Plus RSS Feed Email
"Aku Hanyalah Debu Berselimut Nafsu!"
Blog ini adalah serangkaian kumpulan sadjak dan berbagai tulisan sastra, karya Helyn Avinanto (Helin Supentoel)

Kamis, 01 Desember 2011

Salam Bebasianmu


oleh Helin Supentoel pada 1 Desember 2011 jam 4:41

aku mati
semenjak tiba bau sepi
hanya lebat udara saja yang setia
mencumbuku dalam lelah
saat kau membenarkan kancing bajumu
di balik mataku

masih jelas terasa semuanya
bau ketiakmu menyengat
ranum bibirmu melumat
endusan-endusan nafasmu meretas
juga tarian-tarian gilamu menggoyah malam
dalam montok
lantas mengapa kau tak sejenak menunggu
sementara aku memandikan raga
ah,
aku baru tersadar
kita memang sama dalam kelambu ini
bukan lain

tiba-tiba kau berbisik kepadaku
saat menjelang perpisahan
"apa kau masih mengharapkanku malam nanti
 tuk membaringkanmu pada sepi
 bila memang iya
 sapa saja diriku
 aku sudah cukup mengenalmu"

tak kusangka
sehela kata itu buatku jengah
mungkin hanya salam bebasianmu saja
di balik itu semua
fajar sudah berada
si embun pun membisikkan tawa
dan aku menjawab
"entah...
 mungkin saja begitu
 bila aku belum merasa bosan
 memandikan dosa"



Ngawi 01 Desember 2011
Read More..

BADAI


Kau yang telah sekian lama berada
Menjadi mata luasnya samudra
Bentangkan layar sayap-sayap cinta
Seindah makna lembayung senja

Namun setibanya tengah masa
Kilat jagat leburkan lidahnya
Melambaikanmu dari dekapanku
Membelah perahu kita memaki awan
Lesatkan laju pusaran mimpi menari

Selendang sutra yang kau tenun untukku
Tak kuasa menahan debur ombak bah air mata
Dinding dingin semakin sunyi
Melumat bibirnya dalam pengkabaran haru
Layu menelan badai biru

Hingga semua tiba saatnya
Ku masih tak sanggup bicara mati
Makna legamnya angin malam menjadi
Memanggul gunung yang pernah kita daki bersama
Membungkus laju matahari bercahya
Dan semuanya
Tenggelam dalam rumah jagat kegelapan

Mengapa tak kau bunuh saja aku dengan pisaumu
Biar haru tak membatu
Aku tak mampu menelan api cemburu
Di setiap pijakan matamu
Ngawi, 15 oktober 2011
(untuk *p )
olehHelinSupentoelpada 15 Oktober 2011 jam 21:59
Read More..

Dinda


Dinda,
Sekian lama kau kutunggu
Setiap kali sunyi mendera kalbuku
Dalam terang,
Dalam gelap,
Kerling matamu membias rona keningku
Mengupas kejemuan yang acap kali bersemayam pada penat ini
Diantara perjalanan rindu

Seraut wajah ayumu membius ratapanku
Mengendapkan semua angan ribuan malam
Berlari dari matahari

Dinda,
Dalam selembar kisahmu
Kuingin menjadi tiang tempatmu bersandar
Menjadi cawan kala hatimu gusar

Bila kau dalam canda
Aku rela warnai hatimu dengan celotehku
Menjadi boneka mungil untukmu
Biar kau merasa enggan berlari
Dalam indah perjumpaan ini

Dinda,
Kau yang telah menyulut api cinta diriku
Kau tuang dalam secawan anggur perhatianmu
Jika aku sanggup berkata
Beranda kasihmu telah memasung hatiku
Membenamkan rembulan menyapaku dalam senyumnya

Dinda,
Mungkinkah waktu bersahabat pada kita
Ber-atap pada jalan ini
Dan pudar selalu terdiam di ufuk sana
Biar kita selamanya mencinta dan bercinta
Di atas jagat raya ini
Juga kelak di sana nanti

Semoga keabadian menjadi rumah tempat kita mengukir hati
Ngawi, 16 oktober 2011
(kepada yang di sana)
olehHelinSupentoelpada 16 Oktober 2011 jam 5:00
Read More..

Riuh



Selepas senja ia terbangun
Menabur senyum tuk kesekian kali
Gelap menghantarnya riang
Diberanda remang cemara
Pula cemara kawanannya
Terjaga dalam tatap mata
Menanti sepintas jalang-jalang perindu malam
Dalam dekaban

Dan malam semakin lebat menanam benihnya
Meloncat dari remang sana
Hingga kemari
Berkawan deru angin
Mengejar fajar yang sebentar lagi tiba

Dalam Doa, ia meminta
"panjangkanlah rentang malam ini,
  biar ku mampu bercumbu lebih banyak lagi
  meski hanya blangkot tua yang sebentar lagi mati

  berdiri"

Sementara di rumah,

Si kecil tergelintin sendiri bersimbah air mata
Menetek pada mimpi
Tak hentikan laju kakinya
Riuhkan senyap malam

"jangan salahkan aku
  maki saja burung yang memberiku tai
  lalu  berlari
  dari jejak kaki

  hingga aku menjadi begini"
Ngawi, 20 0ktober 2011
Oleh HelinSupentoel pada 20 Oktober 2011 jam 3:06
Read More..

Sebingkai Doa


Nafasmulah yang telah membujukku
Membelah pusaran waktu
Dari dinding mata
Setiap kali hujan reda
Di sudut lentera

Tak berapa lama semua berada
Ku harus rela menelan indahnya muara
Mengubur bulir-bulir pasir yang pernah kita susun
Ke dalam lautan bahara
Bersama binar candamu membunuhku

Wahai, Tuanku disana
Ku rakit sebingkai Doa
Izinkanlah dia di sana menari di taman permataMu
dan setiap belaian jemariMu
Jangan jahanam

Untukku saja pendosa berada

Ngawi, 20 oktober 2011
Oleh HelinSupentoel pada 20 Oktober 2011 jam 5:34
Read More..

Malam Usang



Malam tak sekutu denganku
sunyi semakin merampas jantungku
hingga lekang selalu saja memanggilku pulang

bagaimana senyum kan membias tiap kali saatnya tiba
mata sekejap kering pada tarian elok
menimang-nimang guling tanpa ranting
"tak lelo, lelo, lelo, legung"
begitunah nada rindu bila malam hampir menghilang

celoteh malam semakin sepi
kala kaki-kaki hujan menapak liang tempatku bermandi
dalam ruang yang semakin sempit saja
ruang bermandikan rintik air mata
menggenggam seribu rupa
yang semuanya kan tetap terjaga

berseluncur ia pada ilalang negri sana
yang baru saja menginjakkan mulutnya pada belas jemariku
memintaku sudah hentikan langkah menyambut malam
dalam riang yang usang

dan semuanya lenyap pandang
kala waktu hampir saja tiba
untukku pulang memandikan najisku
begitu pula najismu yang tak kau pahami lagi
Ngawi, 4 oktober 2011

oleh Helin Supentoel pada 12 Oktober 2011 jam 23:54
Read More..

Si Kambing dan Kutu-kutunya



“Si Kambing dan Kutu-kutunya (1)”
Si kambing mulai mengelus tubuhnya
kala fajar tiba di depan mata
di atas empat roda kandang berjalannya
dia tertawa menatap padang rumput
kutu-kutunya menari-nari dalam lebat bulunya
di antara kebusukan kota

Si kambing pun berkata
sambil membenarkan celananya yang kusut
"ah..., aku tak mengerti gayamu"
rumput mulai dia kunyah
meski warna tak lagi seharum tubuhnya
dia tetap saja semakin mengunyah
menjadi rakus lenyapkan rumput hingga akar

Si kambing cemooh lagi
meski mulutnya terbenam comberan
dan bekatul membayangi kumisnya
"ah..., biarlah dia semakin menarikan bibirnya"
diantara pengap kota yang usang
yang setiap hari mengajaknya berjalan

Si kutu-kutu semakin jingkrakkan kaki
semakin berdiri tegap
semakin menjadi-jadi, beranak lagi dan lagi
banggakan tiangnya tempat berdiri

entah hingga kapan rumput kan bersemi lagi
beranak kaki kembali
bila setiap hari selalu saja lenyap dalam gigi
mungkin semua hanya mimpi...

(bersambung)
Ngawi, 11 september 2011
oleh Helin Supentoel pada 11 September 2011 jam 2:18


“Si Kambing dan Kutu-kutunya (2)”
Si kambing mulai kehausan siang
dua bola matanya melotot menerjang rindang yang jauh
sekejap dia berdiri, menghentakkan kaki,
sorot matanya sekejap berubah bening
sebening saku keranjang siap menampung semua
dari yang ijo, kuning, ataupun merah

Si kambing berkata pada si kutu, sambil duduk manis di sofa kandangnya
ribuan kutunya berbaris dari perut buncitnya
"tu, aku haus..., dan lapar..., coba kamu lihat rindang rumput yang masih hijau disana,
 apa masih segar ber-air dan bisa ku makan,
 biarkan saja yang kering, karena aku tak butuh lagi rumput kering".
padahal di bak comberan masih penuh air bekatul
begitu pula di keranjang makannya

Si kutu anggukkan kepala
segera berjalan tergopoh-gopoh
menerjang panas dari lebat bulu si kambing
siap tertawa serumpun kawan-kawannya
"aku tak pernah peduli pada rumput dan spesiesnya,
 yang ku pedulikan hanya bagaimana tetap berdiri pada bulu tuanku si kambing,
 dan tetap masih bisa menghisap badan si kambing,
biar perutku semakin membuncit".
kata si  kutu sambil nyengirkan bibirnya yang lonjong
sembari membilah rindang rumput santapan si kambing

sementara rumput tak mampu berjalan,
hanya baru bisa merangkat ke samping kanan kiri
yang baru saja kemarin bertunas
butuh air, bukan hanya pupuk kotoran si kambing saja.

bagaimana rumput kan hijau bersemi tanpa air hujan
bila baru tunas saja sudah di injak dan di makan
sedangkan si kambing dan si kutu sudah berlari-lari lintasi pulau dengan kandangnya

apakah ini yang di namakan tumbuh dan berkembang, rumput pun tak memahami
bila setiap hari harus merelakan daunnya untuk si kambing yang buncit
"ya, semua hanya mimpi, mau minum saja sulit, apalagi beranak kembali,
nasip..., nasip..., andai saja aku jadi si kambing dan kutunya,
aku kan membuat balio bertuliskan " di larang menginjak rumput ",
pasti muantap, dan alam di sini kan hijau rindang kembali"

semoga saja kan ada kambing yang mengerti rumput
dan semua bukan hanya mimpi...

(bersambung)
Ngawi, 15 september 2011
(Si kambing dan si kutu jalang, rumput kasihan)
oleh Helin Supentoel pada 15 September 2011 jam 4:43
Read More..