Facebook Google Plus RSS Feed Email
"Aku Hanyalah Debu Berselimut Nafsu!"
Blog ini adalah serangkaian kumpulan sadjak dan berbagai tulisan sastra, karya Helyn Avinanto (Helin Supentoel)

Sabtu, 23 Februari 2013

Sepasang Angsa Di Dedanau Jingga

Ngawi, 19 Juni 2012

Dingin malam kian setia menawan canda, perlahan melilitkan sapa di sekujur kesunyian, menanti fajar yang sebentar lagi tiba. Fajar yang penuh dengan urai air mata dan dahaga. Begitu pula kebisuan dinding rumah, kian tertawa bersama udara-udara sela peraduanjalannya waktu. Melihatku tiada henti meratapi kesemuan hari menjadi tiang rapuh. Menunggu kedatangan kembali dirinya membawa setangkup danau bagi kerinduanku. Biar aku tak lagi berenang di dedanau kering tanpa air dan hujan. Memang begitu berat kaki melangkah,semenjak malam berawan tiada bintang, dan temaram hujan kala itu. Danau air mata sudah tak mampu lagi mendengar keluh kesahku. Apalagi waktu, kian mengurai kesombongannya menabur benih-benih kejauhan. Sementara sang surya telah bercumbu mesra dengan kekasihnya yang gelap di siang buta.
Masih teringat jelas di keningku, saat belaian mesra kasihnyamenimbun butir-bitir kehangatan bersama kelambu hujan yang tak habis bercinta dengan malam tiada sela. Malam yang menghangat, saat kita berdua terjebak di sebuah tempat yang belum lama kita kenal. Di mana kaki-kaki setia berdampingan mengais indahnya pijar malam dalam setangkup jejak perjalanannyaturut serta menghangat, bercumbu dengan udara, berselimut langit gelap, dan mengungkapkan sayangnya pada kardus tempat rebahkan penat raga. Kardus yang siang terselip di sela-sela dinding beton dan gerobak bau. Semua tatap mereka seketikatertuju pada kita yang baru saja tiba, saat deru mesin sepeda termatikan, dan pijar lampunya silaukan kepulasannya menawan mimpi, dalam hujan yang menjabak. Kita serasa asing bagi mereka, namun mereka tidaklah mau tahu, lekas menyulam kembali mimpinya yang sejenak terbengkalai. Entah mimpi esok hari buta penuh warna dan harapan, ataupun mimpi-mimpi ganas bersama kekasih tercintanya yang telah usang termakan cacing tanah. Tinggallah kita berdua saja yang masih menahan pijar terang mata pada waktu tibadi depan sebuah lorong kecil berhimpitan dengan sebuah kios penjual pulsa telepon elektrik. Lalu-lalang deru mesin kian sepi menyapa aspal hitam yang direbut cintanya oleh hujan kian menderas. Kita sama berteduh di bawah atapnya bersama mereka, sembari bercerita-cerita tentang keriangaan perjalanan yang baru saja terjadi. Merajut kembali gelak tawa sebelum akhirnya yang tertinggal hanyalah kenangan di catatanburam waktu. Menghadirkan berjuta ide, mengupas liku jalan dan lorong-lorongkota kecil, Madiun. Ya, kota yang baru saja mengisahkan berjuta kenangan terindah. Kota yang tak begitu jauh dari kotaku yang pemalu.
Hujan kian menabur cinta pada malam, memperpanjang perjumpaan kita kali ini, serasa merestui jalannya waktu, atau hujan memang teramat cemburu pada kita yang terlalu tajam menanam biji-biji keharuman di sebuah taman. Taman antara aku dan engkau cukup mengerti bagaimana membajak, menyirami, dan memberi setangkup pupuk biar tumbuh subur.Tak berapa lama hembus udara dingin menyapa, menusuk tubuhku yang kering, hingga tulang belulang terasa tiada mampu meronce rasa kelu.Entah mengapa, jemari tanganmu perlahan tak kunjung mengerat jemari tanganku, ataupun mendekabku tanpa tanya aku mau ataupun tidak. Yang pasti kuinginkan kehangatan sekejab saja hadir mengisi waktu yang jarang terjumpai ini. Seperti burung berdua bermain dalam sangkar diatas pohon rindang. Sangat kuinginkan dekabaan hangatmu lekas melayang ditubuhku, biar dingin sekejap pergi tak mau kembali lagi menyapa.Apakah aku tak begitu pantas berharap, atau memang engkau sedingin malamini bila kesepian terjadi? Atau perlu kupinta darimu? Bukankah aku perempuan yang teramat malu seperti kau kenal,perempuan yang mengerti bagaimana membuatmu mampu tertawa saat kau mendera kegalauan,perempuan yang tak mengungkit apa yang menjadi momokmu menjalani kehidupan, dan perempuan yang tidaklah terpesona karena segelincir materi titipan Illahi terberikan untukmu,tanyaku dalam hati. Ah, aku tidaklah tahu, meski sudah lama kukenal engkau semenjak akhir musim hujan tahun lalu di batas kota. Saat burung-burung beterbangan, dan meliwis gontai ke utara. Dan di tempat itu pula kita pertama saling mengenalkan nama, bertukar sapa, hingga nomor telepon bersama. Senyumnya lekas mencuri pandangku, setelah bis kota membuka pintu, sembari menyiratkan segelincir pesan,
“Selamat jalan, sampai berjumpa”.
“Iya, sampai berjumpa juga”. Kujawab sapanya sembari menimbun senyuman untuknya. Lekas sepasang kaki ini menginjak tangga pintu Bus bagian belakang, dan pintu itu segera tertutup. Lambaian tanganmu tak lupa meruas sendi perpisahan, namun bukan perpisahan haru, melaikan perpisahan harapan yang kan kembali berjumpa tak berapa lama. Dan parasmu lambat laun lenyap kulihat dari jendela bis yang membawaku berlarian menyusuri hutan dan terjal aspal tua. Bangku tempatku terduduk dan jendela bis itu mungkin sampai saat ini masih mampu menjawab bila ditanya, bahwa diriku merasakan binar-binar merah jambu tersirat diwajah saat itu, sembari senyuman-senyuman bahagia bersarang dikening dan bibirku yang masih ranum, dari batas kota itu sampai tiba di kotaku, Ngawi, kota terbarat propinsi Jawa Timur. Kota yang sangatlah bernafsu bila adanya kucuran dana keluar dari saku Negara. Entah untuk menutup lobang-lobang jalan ataupun menutup mulut-mulut culas membeber kebusukan. Namun pastilah, kota ini yang telah menjadikanku sekuntum mawar putih menebar keharuman sembilan belas tahun ini. Tumbuh merekah dengan pesona raya, menjadikan kumbang-kumbang gemetar tak usai memandang, ingin segera merampas madu yang kupunya bila aku sedia ditawarnya. Namun aku teramat kokoh memijakkan akar, tiada goyah meski sapuan rayu juga semilir angin membelai menawarkan tuk singgah di taman kesemuan. Tapi mengapa tak kunjung jua saat ini kau mendekabku, sementara diriku sudah tak tahan merasakan dingin sibakan udara hujan.

**********)

Hari kian berjalan, waktupun semakin berhimpitan, begitu pula kita. Pesan demi pesan kerap terlayangkan, kabar demi kabar siap menjadikan, diantara siang dan malam bertaburan. Sebulan sudah semenjak saat itu tiada detik tanpa keharuman, tiada slalu datangnya parasmu di keningku. Ingin rasanya segera berjumpa kembali, mengeratkan tali buah perjalanan, karna diriku telah mengidap sakit jiwa. Ya, menunggu datangnya waktu menjamu perjumpaan begitu beda dengan sebelumnya. Lebih mesra dari pertama berjumpa. Memang, sebulan ini meja tempatku bekerja di sebuah instansi pemerintahan sering mendapatiku tersenyum sendiri. Mungkin saja meja ini juga sudah jemu, mendengar nada fals terlantun dari mulutku seketika merasakan binar rasa. Begitu pula orang-orang sedanau kerjaku, saat melihat warna merah jambu terpancar di seraut wajah ini tertangkap dibinar mata-matanya yang setiap saat menyapa dari pagi hingga petang. Mungkin saja mereka juga jemu melihatku bermimpi, hingga menyiratkan sebait kata, “Janganlah bermimpi saja, lekas kau sadar, sebelum jatuh kembali di bumi”. Sapa salah satu dari sahabatku yang begitu peduli akan goyahnya kejiwaanku menderas indahnya binar cinta yang bersemi layaknya musim bunga bertaburan di beranda rumah. “Hahahaha, iya”. Kujawab sapanya sembari memberi senyuman indah makna terjadi. Lantas “kriiing…kriiing…kriiing”, tiba-tiba telepon pribadiku bergetar diatas meja. Segera kubuka, dan tersiratlah sebuah pesan,“Dua hari lagi aku ada acara di kota Madiun, kuharap kita bisa bertemu”. Tersentak aku seketika, padahal dua hari lagi belum masanya akhir pecan dan libur kerja. Bagaimana ini, sudah berkali-kali aku tak masuk kerja, apakah kali ini aku harus membolos kerja lagi?Tidak…, tidak…, bisa-bisa aku di pecat. Lama keningku mencari celah persoalan yang bersarang, bagaimana penyelesaian yang harus menjadi buah dari permasalahan. Belum sempat kubalas pesan itu, kembali pesan baru tiba, “Bagaimana, semoga engkau tak sibuk”. Ah, kian bertaburan tanda tanya melayang-layang diotakku, serasa bepergian tiada tahu jalan berpulang kembali ke kandang. Kian lama mencoba mengupas bagaimana tindakan yang harus terjadi.Tiga puluh menit sudah semenjak pesan itu tumbuh belum juga kudapati sebuah jawaban untuk kulayangkan kembali. Aku semakin manjadi tikus terperangkap di sebuah tempat, berlarian memutar-mutar mencari dimana lobang tempat keluar dari jebakan. Atau pula aku seperti seorang pengendara terjebak di kemacetan kota. Kian lama kian tiada jawaban, kian membawa kegalauan bertubi-tubi. Waktu menginjak usai jam kerja, dan tersiratlah sebuah pengumuman dari instansi tempatku mengabdi, sekaligus cerahnya permasalahan yang membungkusku bagai jeratan tambang hingga aku tidak mampu bernafas, bahwa esok hari kanada libur kerja bersama. Ah, begitu lega terasa, lekas kubalas pesan satu jam yang lalu itu, “Iya, aku bisa bertemu denganmu, nanti setelah kau tiba di Madiun, kabari aku, aku kan secepatnya menghampirimu di tempat yang kau tunggu”. Senyumanku kembali terang, dan seraut wajahkupun seketika berseri kembali seperti pertama menjulang indahnya kata. Tak beberapa lama juga jawaban tiba, “Baiklah…, sampai bertemu dua hari lagi”. Dan sejak saat itu pula terasa waktu begitu lama bergulir, mungkin semua hanya perasaanku saja yang sedang temaram rindu.
Tiba saatnya hari perjumpaan, belum juga sebaris pesan datang mengisi layar telepon yang telah tertegun di jemari tanganku dari pagi hingga siang ini. Bidak tanyapun kian tumbuh mendera bisu waktu.Apakah kabar itu hanyalah keisengan belaka?Sebaris kalimat itu menghantuiku bersama surya yang kian condong ke ufuk barat, dan detak jam yang mendingin seakan menjauhkan rindu dari muara jumpa. Kejemuan terjadi, mungkin semuanya hanya sebatas angan dan mimpi saja, lambat laun kan menjadi usang seperti debu di hempas angin. Lenyap tiada bekas, hanya waktulah yang menjadi keabadian.Udara seakan menertawai, berjingkrak-jingkrak, berpesta bersama kekasihnya dibalik tubuhku, mencolekku, sembari mengerlingkan matanya yang semu. Ah, memang janji hanyalah seurat kata saja, bukan sebuah pasungan tanda yang harus di maknai, ataupun hutang yang harus di bayar. Petak ruas kamar tempatku tiap hari merebahkan ragapun serasa kian pengab, padahal daun jendela sudah terbuka lebar hembuskan AC alami dari rindang pohon sekitaran gubuk tua.Gubuk dimana kedua orang tuaku mengukir cinta dengan begitu hangat, begitu setia dalam janji-janji surga, menjadikan aku ada. Ya, di desa kecil jauh dari kota aku bersama mereka berdiri sampai saat ini. Saling mengumbar kasih sayang tak tergantikan.Meski kerap mereka memarahiku saat aku menjejakkan kesalahan di mata mereka, tetap mereka adalah sepasang tercinta yang membuatku berpijar meramu perjalanan dunia, dan itu merupakan bentuk sayangnya padaku. Ingin sekali seperti mereka yang setia, dan berharap hanya tarian kamboja yang kan memisahkan.Waktu kian berjalan, hingga keputus-asaan tumbuh layaknya biji tertanam di lembar batu. Tak jua dering telepon berkumandang mengabar seurat pesan bungsu saja, bagaimana akan cerita kali ini. Aku mulai lelah, sepasang bola mataku perlahan meredup diatas sofa bau yang setiap hari menahan lelah ragaku. Dan yang kuharap akhirnya dating juga, telepon bordering. Cepat-cepat kubuka pesan apa yang tersirat, “Maafkan aku bila kita belum bisa berjumpa, aku tak jadi datang ke Madiun raya karna sesuatu hal menahanku di sini”. Secarik pesan itu cukup menjawab keresahan terjadi, membuang segala tanya yang mengurai. Lantas kujawab dengan begitu hangat, meski kembali lagi menahan kerinduan yang takkan tau kapan kan adanya perjamuan, “Tak mengapa, mungkin waktu memang belum sedia mempertemuakan kita”. Jawaban pesanku tak jua terjawabnya kembali, namun tak beberapa lama dering telepon memanggil langsung bicara, lekas tombol hijau terpencet, kuangkat saja dering itu.
“Halo…!”
“Maaf, ini dengan Aina?”
“Iy..iy…iyaa…, Mas Rudi ya?” kujawab sapanya terbata-bata, terasa genderang dada berdendang keras. Laksana getaran antara kecemasan dan rasa penasaran mendengar pertama kali merdu nada dari mulutnya. Atau mungkin aku menjadi pengidap gagap dan salah tingkah saja.
“Iya, Dik Aina.”.Di sebutnya namaku begitu lembut, begitu hangat. Selembut sutra yang baru saja terpintal dari kepompong ulat, pula selembut kasih kekasih yang begitu setia mencintai pasangannya. Yang kehangatannya tercipta dalam malam berbintang dan rembulan terang tiada segelincir awan merebut kenikmatan.
“Tumben Mas Rudi menelfon, ada apa Mas?”
“Gak ada apa-apa, aku hanya mau minta maaf bila belum bisa menepati janji bertemu denganmu. Jangan marah ya?
“Iya, Mas…, tak apa, aku mengerti Mas Rudi pasti punya alasan kuat dan tepat”. Sudah mulai tertata kembali jantungku memompa darah ke otak. Sehingga titik nol kewajaran sudah mampu tepat berada di tempatnya semula.
“Benar, memang engkau Aina berhati bidadari, cukup mengerti keadaanku. Ya sudah, lain waktu aku sambung kembali, aku lagi perjalanan pulang kerumahku. Sekali lagi maafkan aku ya, Dik?”
“Iya Mas, sama-sama.Hati-hati di jalan”. Kujawab dengan biasa seperti tiada kegalauan atau kegusaran membumbung pecahnya karang, yang sebenarnya di dalam dalam dadaku telah timbul lautan api tak kuat menahan laju gelombang pasang. Entah pesannya memang sebegitu adanya, atau sebaliknya hanya mencoba menyanjung rayu diriku, membawaku singgah di lautan ketenangan saja. Yang pasti kali ini aku dan dia belum dapat bertemu menyandingkan cawan kerinduan yang selama ini sama-sama tertuang.
Hari demi hari kian memadu beradu, menjadi bulan dan bulan berikutnya. Begitu pula seurat pesan di layar telepon tak jarang kunjung datang dan melayang mengisi kabar perhatian berada. Rindu memang teramat rumit dimaknai, apalagi terbengkalai jarak yang jauh memisahkan. Namun bagaimana dengan harapan dan mimpi? Ya, bagiku harapan dan mimpi harus tetap terajut sebagai nyawa kehidupan. Karena tanpa mimpi manusia takkan ada semangat membara tuk menerjang tingginya gelombang. Tepat di pagi hari tiga ratus enam puluh lima hari semenjak perjumpaan pertama itu, sebuah kabar akan indahnya taman tiba di beranda telepon. “Aku sekarang lagi di kota Madiun, dapatkah kau ke sini?”. Ya, kabar yang begitu menakjubkan sekaligus menggetarkan, serasa hujan emas jatuh dari langit. Menimpukku hingga tak tersadar dan harus dilarikan ke UGD Rumah Sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis karena aku sedang koma. Koma memaknai gerangan apa yang baru saja terjadi, meninggikan tensi darah hingga dua ratus. Di atas kepalaku serasa burung-burung menari, membawa sekuntum bunga keharuman, biar aku lekas singgah di taman. Atau pula bukan burung-burung, melainkan sepasang angsa menari di dedanau rindu. Ah, begitu tak berdaya setelah kubaca pesan singkat itu, seperti mimpi saja. Tak kunjung lama, lekas kujawab pesan itu, “Iya, aku ada waktu. Kamu sekarang tepatnya dimana?”. Mungkinkah ini memang buah kerinduan yang selama ini kutanam dengan begitu setia. Atau Tuhan memang begitu mencintai diriku sehingga aku bukan hanya pemimpi belaka. Kembali pesannya masuk di beranda telepon yang selalu kugenggam erat dan sesekali kuciumi sendiri layaknya kekasih, “Aku sekarang sedang ada acara di Pusat Perbelanjaan, mengisi hiburan di sini. Nanti setiba kamu disini, hubungi aku.Aku akan menyapamu.” Lantas kujawab begitu terburu, “Baiklah”. Memang hari ini teramat indah, fajar menyambut dengan senyum termanis sepanjang masa.Kesucian embun terurai anggun dilembar dedaunan. Begitu pula dengan diriku yang menderakan keriangan tiada mampu terbayar oleh apapun bentuknya. Serasa melayang di taman surga penuh warna merah muda cinta. Segera selepas pesan terakhir itu, tak tunggu lama secepatnya aku meluncur dengan skuter matik yang tiap hari menjadi tungganganku, datang ke tempatnya berada. Membawa sekeranjang rindu dalam perjumpaan tertunggu begitu lama, karena waktu yang belum sempat merestui segalanya berada.
Mentari pagi kian meninggi, kian meranggas raga, menjadi sahabat yang setia mengantarkan kerinduan ini tiba di tempat yang telah terjanjikan. Besar papan nama pusat perbelanjaan terjualang tinggi sudah kulihat di muka gedung kanan jalan. Segera kuhentikan laju deru mesin matic ini di depan pintu tangganya. Kulayangkan kabar kepadanya, bahwa diriku telah sampai ditempatnya berada, “Aku sudah di depan tempatmu ada acara, lekas kau sapa diriku kesini”. Serasa lama penantian akan datangnya pertemuan. Sedetik serasa jutaan tahun lamanya.Kutengok kekanan, kekiri, tak jua mendapati pesona parasmu.Begitu pula dengan debar dada, kian membuncah layaknya gemuruh lahar marapi. Menunggu memang sesuatu yang membosankan, namun berbeda dengan diriku. Menunggu adalah sesuatu hal yang membuatku semakin hidup, meski menuggu itu belum tentu tersampaikan atas apa yang ditunggu. Tetaplah diriku akan menunggu dirinya menyapaku dengan begitu lembut. Membawa taman kerinduan yang selama ini hanya terbenam dalam mimpi saja. Tiba-tiba lengan kiriku tersibak oleh lembut jemari. Kanget, itulah yang terasa. Perlahan kupalingkan muka, ternyata paras menawan itu sudah berada tak jauh dari tatapan mata, bersama senyuman manis yang satu tahun lalu kulihat begitu mempesona. Tetap sama, tetap menawan, bagai seorang pangeran tiada cela. Seakan membawaku terbang tinggi hingga dunia cemburu. Memberi warna-warna cerah, biar tak hitam dan putih belaka. Datang dari negri jauh membawa sekeranjang kerinduan. Menaiki seekor kuda putih, dan memakai mahkota raja berselendang emas permata. Menjadikanku sebagai bidadari kehilangan selendang. Seperti cerita Jaka Tarup mencuri selendang salah satu bidadari ketika mandi di sungai.Sehingga bidadari itu tertinggal sendiri di bumi, tidak mampu kembali pulang ke kayangan, tempat di mana berada sesungguhnya bersama saudari-saudarinya. Lantas menjadikannya istri di tanah pertiwi untuk anak-anaknya, sebelum ketahuan selendang yang ia curi berada di mana. Ya, inilah yang kurasakan setelah bertemu denganya. Tak ingin membuatku semakin terbius oleh keadaan, dia pun lekas mewarnai waktu yang lama dalam penantian,
“Bagaimana kabarmu?” sapanya dengan hangat.
“Kabar Aina baik, sehat. Bagaimana dengan Mas Rudi,baik juga kan?”
“Iya, seperti yang kau lihat saat ini.Masih mampu menjejak tanah dan merasakan lezat makanan, hahaha”.
“Hahaha, Mas bias aja”. Aku kian tersipu malu dalam tuturnya.Candaannya sangat mencerminkan kematangan berfikir dan begitu menawan.Entah ini memang aku gembira begitu dahsyat, atau aku memang sedang mabuk kepayang di udara cinta, aku tak tau.Yang pasti dia telah menjadikan diriku sebagai seekor angsa kehilangan sayapnya.Atau juga bisa di sebut dia telah merebut segala kemarahanku, sehingga yang tertinggal dalam diriku hanya kelembutan dan kasih belaka. Kemudian dia kembali menyulam kata,
“Aina, Maukah kau mengenalkan aku dengan kota yang masih asing bagiku ini?Aku ingin melihat kemolekan kota ini bersamamu”. Begitulah sapanya setelah perjumpaan tiba, bahwa dirinya ingin mengenal kota ini. Atau dia hanya ingin mencari celah dimana tempat yang tepat mengukir kasih bersamakau.Aku tak tahu, namun yang pasti segera kupenuhi pintanya, memainkan hari dengan warna bunga merah muda, karna aku juga tahu dimana letak sebenarnya sebuah kerinduan itu harus berada mengurai waktu.
“Baiklah”. Jawabku yang teramat pasrah atas apa yang menjadi pintanya. Lekas mesin matic berbunyi, memutari lorong demi lorong. Bersamanya serasa dunia hanya milik berdua, dan semua mata juga segala yang berada menjadi mainan belaka. Ruas-demi ruas melihat segala tawa yang tersibak. Tak jarang dia bercanda pada angin, sembari rmerajut kalimat dari bibir kecoklatannya, membuat dinding-dinding beton kota layu. Apalagi diriku, kian layu terjerat oleh kerinduan yang selama ini kian membunuhku perlahan. Dan disinilah segalanya terjawab. Bagaimana kerinduan itu memang merupakan sebuah ladang yang harus terjaga sebagaimana mestinya. Andai saja aku tidaklah mampu menjaga kerinduan itu, mungkin kali ini bukanlah waktu yang menggetarkan. Waktu yang teramat indah ternikmati selama aku mengenal indahnya cinta. Cinta yang bukan sekedar cinta, namun cinta dari segala keberadaan rasa.
Senja telah berada. Tiada terasa buah kerinduan ini sebentar lagi harus usai.Bila saja aku mampu menghentikan laju bumi berputar, pasti lekas kulakukan. Biar perjumpaan ini kan tiada usai seiring tumbuhnya kasih. Selepas mengisi perut dengan masakan padang di sebuah kedai makan tak jauh dari pusat kota, dia berkata,
“Aina, sudah tiba saatnya aku kembali pulang ke kotaku. Lain waktu pasti kita akan bertemu kembali. Melanjutkan buah kerinduan kembali”.
Memaknai tutur katanya, aku tak mampu. Hanya kediaman yang tersembunyi di bibir merah ini. Seketika wajah ayuku pun, berubah lesu. Layaknya kertas buram kusut habis bungkusan kacang pedagang kaki lima yang terbuang di tong sampah. Waktu kian berjalan, namun keheningan menghantui kami bersama meja kedai makan itu. Aku harus bagaimana lagi, sudah tak mampu lakukan segala gerak biar dirinya tak jua lekas pergi dari pandangan mataku. Begitu pula dengan dirinya, tak mampu melakukan apa-apa melihat kelesuan yang temaram di sekujur wajahku.
“Kenapa Aina diam? Apa aku punya salah?” Di seraut wajahnya nampah kegelisahan memaknai tatapan wajahku.
“Enggak, Mas Rudi gak punya salah. Ya sudah, memang waktu telah mempertemukan kita, dan juga waktu yang kan memisahkan kita”. Nampak terurai dari bait kata yang kuucap. Seketika pula ia semakin gelisah bertubi-tubi. Mencoba menderakan kedewasaan yang ia punya padaku akan sesuatu masalah yang mungkin mampu menenangkan kegusaran hatiku.
“Enggak, Aina. Kita tidaklah terpisah, kita masih tetap selalu tererat dalam hati dan sapa. Hanya saja pandangan mata saja yang tidak berada tererat. Lain waktu pasti aku akan kembali menemuimu lagi. Aku janji”. Begitu dewasa sekali ia memaknai apa yang terjadi. Membuatku semakin terpesona dan kian menumpuk benih-benih kesetiaan.
“Benarkah dengan janji yang Mas Rudi bilang?” sehentak aura wajahku bercahaya mendengar sebait kata yang membuatku tenang.
“Ya. Kau pasti teramat tau siapa diriku, dan takkan meragukan segalanya”.
“Iya, Mas. Aku cukup paham sekali sifatmu. Tapi...” kembali wajahku mendera kegelisahan.Begitu pula dengan dirinya, terlihat seribu tanya terbenam di keningnya. “Tapi kenapa, Aina?”
“Tapi…, em…, bolehkah aku meminta sesuatu?” Tiada tahu, bagaimana aku memintanya. Pantaskah aku sebagai seorang perempuan meminta hal yang belum pernah kupinta dari seorang laki-laki. Namun bagaimana lagi, emosiku terlampau lemah menahan gejolak yang masuk saat ini. Mungkin saja ini memang rasa kerinduanku yang teramat dalam, rasa takut kehilangan, sehingga membuatku tak kendali menahan segala kemauan.
“Apa itu?”
“Aku berharap Mas Rudi pulang dari kotaku Ngawi saja. Bagaimana Mas, apa bersedia? Biarlah beberapa menit lagi aku masih melihatmu”. Lekas kuutarakan saja kemauanku, sementara waktu kian berjalan, kian menyempitkan saja.
“Baiklah, jika itu pintamu”. Ya begitu dewasa sekali dia mengilhami perasaanku. Akupun tak tau bagaimana perasaan dirinya sebanrnya. Mungkinkah ini hanya untuk menenangkan kegusaran, atau dia memang teramat baik bagi seorang laki-laki. Tak seperti laki-laki yang selama ini kukenal ditempat kerja. Yang selalu menjaga keegoaan dan nama baik saja. lelaki yang hanya mementingkan diri sendiri, tanpa mahu mementingkan pesaan perempuan. Meski perempuan yang setiap hari mereka temui dari pagi hingga senja tiba. Lekas kuda besi berjalan menuju kota Ngawi. Ya kota yang telah lama melihat keluh kesahku. Sepanjang jalan begitu sepi, hanya beberapa motor dan kendaraan lain saja yang lalu-lalang, begitu pula dengan kami. Mendera kesepian satu sama lain. Waktu terasa teramat singkat, meski sebenarnya jarak tempuh antara Ngawi-Madiun teramat jauh, kira-kira satu jam perjalanan.Namun bagiku, perjalanan serasa hanya semenit saja.tiada tawa, tiada lagi bilah makna, yang berada hanyalah kesunyian dan keheningan melanda. Baik dengan diriku yang kiranya tak rela dia pergi kembali ke kotanya, atau pula dengan dirinya memaknai perasaan yang bergejolak dalam diriku.

**********)

Ya, kini tibalah dimana akumencoba tersadar dari membayangkan kenangan tadi bersamanya, saat itu. Saat gigil tubuhku kian mendera tiada tepi, dan dia tak kunjung jua mendekabku seperti burung berdekaban yang kulihat di reranting depan.Apakah diriku memang tak sebegitu menarik untuk kau hangatkan sebentar saja? Atau memang selama ini perhatianmu hanyalah sebatas kawan dekat, sementara diriku yang sudah mabuk kepayang dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan? Dia tetap berdiam, lengan tangannya hanya terdekab di depan perutnya sendiri. Sesekali menyiulkan segelincir nada dari bibirnya. Tiada tau, gerangan apa yang bersarang di benaknya. Mungkinkah ia tak merasakan apa yang kurasa? Bukankah aku sudah coba memberi tanda-tanda bisu padanya? Lantas mengapa tak kunjung jua gerakannya menyibak apa yang kuinginkan. Ah, jangan-jangan dia bukanlah lelaki sejati. Sempat perasaan itu muncul mendera apa yang terjadi. Angin dingin kian membuncah saja, menyibak rambutku hingga tercerca di keningku. Bibir ini serasa mati rasa, karna dingin telah membungkusku tiada cela. Tak begitu lama, dari laju ban motor yang seketika lewat begitu saja memercikkan air hujan yang tergenag di pinggar jalan depan tempatku berdiri mendera kedinginan dan berteduh dari hujan, merebahkan sapa di halus pipi ini. Seketika itu pula aku teriak,
“Ach…..!” Aku kaget, begitu pula dengan dirinya mendengar teriakku. Saat itu pula kurasakan jemari tangannya pertama kali mengelus pipi halus ini.Belum pernah sekalipun pipi ini tersentuh oleh jemari lelaki yang menggetarkan perasaanku. Apakah mimpi ini baru saja bermula? Aku tiada tahu.Yang kutahu bahwa mimpiku telah lama di ujung sebuah dermaga. Bukan aku marah mendapak cibakan air hujan dari ban motor yang lewat, namun aku bersyukur pada ban motor itu, karena tanpanya mungkin belum jua jemari lelaki yang menawan itu kan bersaran di pipiku.
“Sebentar, jangan kau usap lebih dulu”. Katanya begitu lembut, sembari mengambil sapu tangan yang terselip di saku belakang celana jeansnya. Perlahan ia mengusap air hujan yang berceceran di pipi. Terasa begitu lembut penuh kasih belaiannya, kemudian turun hingga bibirku yang masih teramat ranum. Bagaikan buah strobery yang masih segar di kebun, belum sempat tersentuh jemari busuk.
Waktu perlahan mengisahkan, terasa ibu jemari tangannya terebah di bibir ini. Laju jam serasa sekejab berhenti. Dia mainkan perlahan ibu jarinya, sembari tatapan anggun matanya menderas mataku. Kedipan demi kedipan terasa bermakna.Akupun larut dalam buaian itu. Tak kuduga, sungguh tak kusangka sebagaimana awalnya. Tanpa sebilah tanya padaku, coklat bibirnya lekas bersarang di bibirku. Aku kaget, dan sejengkal kakiku melangkah kebelakang. Lekas diapun menghentikan rebah bibirnya itu. Seketika itu pula pandanganku terurai ke bawah. Dia gelisah akan apa yang baru saja menjadi kelancangannya,
“Maaf, Aina.., Maaf keqilafanku ini. Maaf sekali. Seharusnya aku tak melakukan kecerobohanku ini”. Terlihat dia begitu bersalah. Perasaannya pun seketika mendera kebingungan, bagaikan sedang terjerat arus sunami.
“Taka apa”. Kujawab dengan raut malu, dan kaku.
“Benar, Aina. Aku minta maaf. Aku begitu bodoh telah melakukan ketidak senonohan padamu.Aku ini lelaki busuk.Sekali lagi maaf, Aina”. Dirinya merasa gelisah atas apa yang dilakukannya, dan mencoba menetralkan segala kejadian yang membuat tak sebegitu menarik. Mencoba menenagkan kesenduanku. Melihat apa yang membuatnya gelisah bersalah, akupun pahan harus melakukan apa dengan segala kedewasaan yang kupunya.
“Taka apa Mas Rudi. Aku tak mengapa kok. Waktulah yang sebenarnya tak senonoh telah melakukannya”.
“Maksudmu?” Ia semakin gelisah atas jawabanku yang terberikan padanya, dan mencoba mencari keterangan yang membuatnya lebih pahan atas jawabanku. Lekas coba kuterangkan lebih masuk akal, biar dia mengerti maksudku.
“Ya, waktu yang telah membuat semuanya terjadi.Engkau tak salah, dan aku tak marah”.
“Sekali lagi Maaf. Bolehkah aku bertanya?” Ia masih merasa bersalah, dan kembali lagi mencoba membersihkan apa yang bergejolak di hatinya.
“Tanya apa mas?” kujawab sembari keningku bertanya-tanya keanehan apa yang ada padaku.
“Apa Aina belum pernah melakukannya?”
Hanya gelengan kepala saja yang sempat kujadikan jawaban untuknya. Memang benar, belum sekalipun bibirku merasakan gerakan seperti itu. Meski sudah berkali-kali aku lihat gerakan itu dari beberapa film di layar televisi, namun bila terjadi begitu nyata, barulah kali ini aku merasakannya. Dan diapun akhirnya mampu tenang dalam kegusaran yang melanda akibat kejadian yang baru saja dia lakukan padaku.
Semua teramat baru bagiku. Maklum, aku hanya perempuan sederhana yang selalu menjaga kesucian, dan jauh dari era pergaulan bebas, jadi ciuman dalam bibir masih teramat asing. Kembali kediaman bersarang diantara kami. Sendiri-sendiridiantara kami mencoba menenangkan emosi. Mencerna apa yang baru saja terjadi. Apakah memang sebuah kesalahan?atau memang segalanya menjadi buah hujan yang memberi makna? Hal itulah yang terronce di keningku. Tak beberapa lama dari keheningan itu, sekali lagi sibakan dingin udara hujan kian berhembus.Aku merasa tubuhku kian menggigil.Perlahan sejengkal demi jengkal tangannya terbang melingkar di pinggangku, lantas mendekab tubuhku dengan hangat tubuhnya. Tak tahu lagi dimana awal ceritanya, bibir coklatnya kembali manabur bibirku. Begitu lembut, begitu mesra.Lebih hangat dari yang tadi pertama. Dan akupun larut dalam cumbuan bibirnya, tak menolak ataupun terkaget lagi, malahan semakin melayang.Serasa terbang di langit melihat keelokan dunia.Kian menghangat, seperti air dalam tungku yang terbakar oleh api. Waktupun kian memberi sayangnya padaku dan dirinya yang sedang menimbun butir-butir dosa. Cumbuan kian mesra, tak hiraukan segala apa yang melihat kami, hingga kami sama-sama tersadar bahwa hujan telah usai. Begitu pula dengan cubuan bibirnya pada bibirku, perlahan usai, menjauh dari centi meter ke centi meter, hingga puluhan centi meter jaraknya terpisah. Aku dan dirinya sama memaknai, sama mengerti akan apa yang baru saja kami lakukan, tiada buah penyesalan. Namun yang berada malahan keasyikan tiada usai.Lekas kusadari, waktu telah memanggil tuk memisahkan kita, begitu pula dengan dirinya. Seperti hujan yang sudah reda dan cumbuan bibir telah usai,
“Aina, sampai bertemu kembali lain waktu. Jagalah diriku dalam kerinduanmu. Begitu pula diriku kan selalu menjaga dirimu dalam kerinduanku”.
“Iya, Mas Rudi. Hati..hati.., sampai bertemu kembali lain hari”. Lambai tangannya menghentikan laju bus yang terlihat sudah kian dekat dariku dan dirinya berdiri.Saatnya dia kembali ke kotanya, saat pintu bus telah terbuka.Aku sadar, perpisahan memang begitu berat, meninggalkan sejuta bayang-bayang.Lain dari itu dia telah memberiku tanda perpisahan yang begitu berarti, begitu indah, dan cinta rindu memang begitu gila. Ya, dia semakin menghilang dalam deru Bus yang membawanya. Tinggallah diriku sendiri meresapi indahnya cinta, dan menunggu kembali kedatangan dirinya kemari, entah kapan.

**********)

Ya, saat ini yang kulakukan hanyalah menunggu dengan kesetiaan. Tak tau berapa lama datangnya sebuah keajaiban, kapan lagi dia kan datang kembali, menjawab kerinduan dan cinta kasihku. Meski setiap hari dalam detik demi detik seringkali sejuta kata indah darinya melayang di beranda teleponku. Begitu pula dengan diriku yang kerap kali menanyakan apakah dirinya sudah makan, sholat, ataupun lagi dimana dan sedang apa, aku berharap tak beberapa lama lagi segalanya kan usai. Biar danau lekas kembali penuh terisi air, dan kekeringan menjadi kenangan waktu yang membisu, tak hanya menjadi sepasang angsa menari di dedanau rindu saja,dan hanya menjadikan diriku bercumbu dengan bayang-bayang kala siang dan malam membuta.
Inilah sebutir cerita indahku. Pasti kalian bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ending dari cerita ini. Bagaimana jawaban atas penantian setia kerinduan yang kujalani. Aku harap, kalian sendiri berpikir membuat ending untuk ceritaku ini, senakal jalan cerita yang kalian buat, karena ending ceritaku cukup aku saja yang tahu.


Bersambung…….
Read More..