Facebook Google Plus RSS Feed Email
"Aku Hanyalah Debu Berselimut Nafsu!"
Blog ini adalah serangkaian kumpulan sadjak dan berbagai tulisan sastra, karya Helyn Avinanto (Helin Supentoel)

Jumat, 05 April 2013

SEMALAM DI PALESTINA

Semalam,
Tak ada yang meminta hujan di Palestina
Sedang di langit, matahari tak bosan-bosannya menjerit
Menjadi peluit, dan kaki-kaki lekas berdecit
Lantas redam dalam hitungan detik

Semalam,
Tak ada yang mengundang badai di kota seribu duka
Sangit mesiu menjadi aroma gempita senja
Segalanya terlahir dari musim-musim berburu
Dari rahim-rahim ajal

Semalam,
Di tanah merah itu jam-jam menjadi beku
Detik-detik bermimpi pun kandas bersama mulut meriam
Dan rentetan peluru yang masih hangat menjadi bola mainan
Pada bayi-bayi yang belajar mengokang senapan
Saat bunyi-bunyi pecah menampar pelukan
Dan cahaya mata yang merah menyala-nyala
Menjadi sadjak-sadjak yang tanggal pada angka-angka yang tetap tinggal

Semalam,
Ada yang tertatih-tatih membaca kabar media
Bahwa di Gaza malam berpesta aroma bunga
"Bapa, aku ingin menulis puisi cinta,
seperti palestina tak lelah air mata"

Ngawi, 28/03/13
Read More..

GEISHA



Aku puja engkau cahaya itu pagi
tumbuh di antara bening-bening embun mandalawai
laksana mutiara cangkang merak
pastilah eloknya kan menyeruak pesona perak
saat kubuka daun jendela
harummu semerbak sakura dimusim semi yang tiba
mekar laksana rembulan purnama di atas kota
yang berdesah

aku rindu engkau seperti rindunya malam menuntaskan sepi
saat gairah-gairah samudra terbakar amarah
laun pecah menjadi dangkal gerimis
yang perlahan kering
seiring angin menyimpuh raga
seperti genderang pejuang tertabuh di medan perang
jadilah terjang menerjang sarung pedang melayang

bila ini indahnya senja gila
sebelum kulumat bayangmu yang telanjang di rahim mega
dambaku,
janganlah kau padamkan gelora api sadjak pujangga
menyanjungmu dalam tiap purus-purus kata
setelah kau bakar diriku dilautan asmara
atau kau kuras darah tubuhku yang merah saga
lantas kau sandingkan aku pada malam buta

oh, Geisha...

Ngawi, 27/03/13
Read More..

Sekar Merah Jingga

Sesekali saja nampak tawa itu, sesekali pula awan mengusung kelabu
suram-suram hutan memberi hangat dekapan malam di tengah kebutaan
danau-danau sumbing merubah kering menjadi basah embun
lantas alirnya mengikuti tepi terjal hingga teresap di bebatuan
dan rembulan yang kesakitan
dengan diam-diam membaca wajah di ruas jendela
berharap lekas jumpa senandung lembah jingga

ada resah yang terkapar, ada pula gairah yang terlontar
saat burung-burung lapar terbang menukik lantas membidikkan paruhnya
seperti lebah yang rakus menyengat sekar
meski sayapnya merentang pun telah kelelahan
dan bulu-bulunya yang dahulu masih lebat sekarang tinggal beberapa helai
sebab helai-helai lainnya tanggal di musim-musim yang gangsal
tetap burung-burung itu merasa kekar laksana pilar

bukan pelarungan langit dalam jam-jam setia
seperti roda sepeda yang oleng sebelum lama terputar
lantas rontok dalam beberapa kayuh tercipta
bukan pula suara-suara miskram terdengar cetar layaknya serigala lapar
segalanya lekas tuntas setuntas-tuntasnya
laksana embun dilembar dedauan
perlahan mengkesat tinggal jejak menjadi bayang keabadian

"lembah jingga,
mengapa kau kutuk diriku menjadi meliwis berbulu merah,
sedang diriku sejumput gelisah resah"

30/03/13

Read More..

Dik Sri 24




Dik Sri, aku pulang
tolong ambilkan air di kendi, rasanya hausku tak tahan lagi
seharian matahari terasa membakar tiada punya iba, Dik
meski telah kupakai kaos tebal, jaket berjumbal-jumbal, sepatu, dan caping,
tetap, rasanya seperti telanjang
setelanjang jalan-jalan kota ini, kering tiada pohon memancang lagi
semuanya habis di telan yang katanya pelebaran jalan, bangunan, kabel listrik, bahkan katanya sering tumbang itu!
seperti yang kubaca dari koran bekas tahun lalu, yang sudah jadi sampah pembungkus nasi

Dik Sri,
meski sampah di gerobak baru memuat setengah, tak sebanyak kemarin pun lusa, aku tadi segera pulang lekas-lekas
sebelum surya remang menghilang dari mata, dan mengaburkan tatapan
sebab ini malam minggu, malam yang kita tunggu-tunggu, Dik
seperti janji kemarin, mengajakmu jalan-jalan kepasar malam kampung sebelah yang terdengar sangat ramai
ada komedi putar, tong gila, kereta, mainan air, dan masih banyak lagi
ada pula arum manis, tahu petis, martabak, terang bulan, pun segala cemilan

pokoknya semuanya ada

Dik,
aku ingin mengenang lagi pertemuan kita pertama dahulu
saat naik kuda-kudaan kulihat dirimu tersenyum di pagar
berkali-kali putaran senyuman itu tiada berujung padam
laun kusapa dirimu sesudahnya di penjual kacang rebus tak jauh dari tempat itu
tahukah kau, Dik
saat itu hatiku sangat berdebar sekali, meledak-ledak rasanya, seperti akan copot
tapi aku tetap beranikan diri menyapa
sebab senyumanmu itu, Dik
membuatku penasaran dan runyam gelisah

O... iya Dik,
tadi sewaktu pulang, di tikungan tak jauh dari gubuk kita, kulihat ada penjual parfum
kucium, harumnya semerbak sekali menyulut hati, seperti melati diterpa udara pegunungan yang sejuk
lantas, kuraba di saku celana ada uang lima ribu perak
uang yang kamu kasih tadi pagi untuk membeli air minum bila habis
tapi tak kubelikan
sebab, meski hari ini panas sekali, aku tiada peduli
semuanya untuk kamu,
seperti janji menyuntingmu dari orang tuamu yang membakarku dengan berjuta hambatan, Dik

tahu kan, Dik

bahwa cinta kita ini leburan dari gula dan serbuk kopi menjadi secangkir kopi hangat?

di tambah lagi saat kau menyeduhnya dengan leret senyuman manis dan hangat

ah, aku semakin dalam-dalam sekali mencintaimu


Dik Sri,
nanti saat kita kepasar malam, kamu pakai pakaian yang sama saat pertama kita berjumpa dahulu itu ya, Dik
begitu pula dengan diriku
masih kamu simpan rapi di almari kan pakaian itu, Dik?
jangan lupa pakai pula parfum ini
maaf ya Dik, bila sudah lama tak kubelikan parfum, dan sudah lama pula tak kuhirup harum ditubuhmu
bukan tak sayang padamu, namun mengertilah,
bahwa kesetiaan ialah keharuman itu abadi


lagi, Dik
jangan lupa juga bawa air minum,
jika nanti kita kehausan bertawa-tawa ria lagi

mengenang indahn cinta sanubari


Ngawi, 03 April 2013
Read More..

AROMA BUNGA



Mengapa kau seret diriku sedalam-dalamnya sukma
sekemelut legam dupa
sedang diriku tak pandai memainkan tumpah air mata
seperti tajam gerimis yang pecah di musim kemarau
menggores tanah laun kering dalam kejab detik

Mengapa kau pinjam wajahku untuk kau tawan di pahatan batu
dalam keabadian nama
serta kau bingkiskan pula beku sendu siang itu dengan aroma bunga
lebur di antara keranda
sedang diriku tak pandai meramu gejolak rindu cinta
serta samudera yang memilinmu menjadi kekasih senja

mengapa kali ini benar-benar kau buat diriku cemburu
sangat cemburu sekali
hingga ketakberdayaan itu menjadi api yang tak kunjung padam
pada harum tilasmu
sebelum kucopot biji matamu dalam mimpimu dan ku
serta kurontokkan tawa kalbumu kecup hangat keningku
engkau telah mentertawakanku
diantara bayang-bayang lamat jejakmu
pulang

.....

(Sebuah catatan berharga)

Ngawi, 01 April 2013 
Read More..