sebentar ku lihat galau memanjang di beranda rumah tua
tertegun pada cahaya malam yang semakin sepi
di depannya secangkir kopi sudah terlahap barisan semut dan dingin
sebungkus kretek tinggal separo pun memandang bisu
bukan ia menyesali kambingnya tak makan tadi siang
atau anak itik hilang dari kandang
tetes-tetes hujan menari di ujung dedaunan
mencoba kerlingkan senyum pada seraut muka yang lusuh
muka yang ku jumpai akhir musim semi tahun lalu
selepas kotaku menahan rindu
di baris jalan jeruti sepeda abu-abu
enggan bibirku bertanya seutas sapa
serasa tersulam benang tanpa tutus simpul kuncian
akan temaram yang membuatnya berbeda
dalam desah perjumpaan kata
mengawali nada
ingin ku melihat sebilah senyum yang dulu pernah menertawakanku
juga celoteh riang sirnakan lelahku
sembari sesekali menepuk bahu
saat remang berdua mengupas sendi-sendi di baris tangga
pula membisikkan sapa pada mawar simpang lima
mungkin ia sedang memunguti bulir-bulir cinta di antara samudra
atau pula mengejar tai-tai pada kakus belakang
aku tak cukup maknai semuanya
yang ku tau hanyalah ia meresapi pengasingan malam
selepas Jogja hujan air mata
satu pesan coba ku lesatkan
"jangan engkau memendam semuanya
lepaskan saja pada angin dan udara yang menciummu
pula kepadaku
bukankah langit sudah kembali tenang
biarlah pigora saja hiasan meja tamu rumahmu"
Ngawi, 11 Desember 2011
(kedukaan selepas merapi)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar