Wahai pohon warna
bukankah kita satu yang menyematkan noda pada selembar daun
menjadikannya lukisan sampai mana mengerti kesamaan warna ini
dan mengukir ranting tempat sandaran kaki kita menapak erat
hingga mampu meraih buah yang segarkan dahala ku juga kau
lantas mengapa kau urai kembali lukisan yang selama ini tertenun secara perlahan
mewarnainya dengan noda yang tak semestinya terlukis dalam ranum
tuk tempat menahan segala pengab udara dan rintih basah
bagaimana mungkin kau kan mengerti makna satu diantara ribuan hilir udara
sedang kan kau masih saja terpaku pada rintik hujan kemarin malam
sementara air sudah menghapus jejak langkah diantara bulir pasir
memadatkan benih-benih sapa dan tegur yang selama ini terajut sempurna
membekukan hangat darah memuja ribuan waktu lamanya
apakah tidak cukup satu tiang saja penopang satu pohon renta
bersama waktu menjadi saksi segala kata dan mata
dalam tatanan satu-satu berjajar rangkap tiga yang semuanya senada
apa kau tau kelak buah kan jatuh kemana
bila kau terlalu rela mengisinya dengan segala gerak dahanmu
aku sudah cukup mengerti ukiran jejakmu selama ini
bila begitu,
ku tak kan tinggal diam berdiri di sini
jika kau kan mewarnainya seperti kau mewarnai malammu dalam rimba
ku kan menghadangmu hingga sisa masaku melihat cahaya
biar buah terjatuh jauh dari pohonnya
dan warna tetap pada ranumnya
Ngawi, 11 november 2011
Tidak ada komentar :
Posting Komentar